Where the Cross is Made, Pentas Teater Gema UPGRIS Angkat Obsesi Ayah Berlebihan Berlatar Perburuan Paus

Pentas Teater Gema UPGRIS
Sumber :
  • VIVA Jogja/Dok. Teater Gema

Semarang, VIVA Jogja - Pertunjukan Teater Gema UPGRIS, pada Kamis (5/12), malam, di Balairung Kampus Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) menghadirkan sebuah pementasan yang memukau.

Dengan setting rumah berbentuk kapal besar di atas panggung, suasana langsung menggoda penonton begitu mereka memasuki ruang teater.

Pementasan ini mengadaptasi naskah "Where the Cross is Made" karya Eugene O'Neill, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1923.

Drama satu babak ini menggambarkan perjalanan traumatis tokoh utama, Nat Bartlett, yang terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu kelamnya, serta konflik batin terkait obsesi ayahnya, Kapten Isaiah Bartlett, yang telah pensiun dan menjadi gila.

Empat aktor dengan karakter kuat membawa penonton menyelami garis tipis antara kenyataan dan ilusi, menyelami trauma masa lalu, dan menggambarkan perjuangan pribadi masing-masing tokoh.

Sutradara Afrian Baskoro, dengan bantuan asisten sutradara Kartikawati yang menerjemahkan naskah, berhasil menyampaikan kedalaman emosi dan konflik dalam pementasan berdurasi 90 menit ini.

Pementasan yang dihadiri oleh sekitar 1.000 penonton, termasuk pelajar, mahasiswa, guru, pelaku teater, dan masyarakat umum dari dalam serta luar kota Semarang, mendapatkan sambutan hangat.

"Pentas produksi akhir tahun ini mengangkat isu yang merespon fenomena sosial di masyarakat, yaitu parenting, dan dampak psikologis anak atas pola asuh orang tua yang obsesif," ungkap sang sutradara, Baskoro. Berangkat dari kegelisahan mengenai kondisi generasi saat ini, sutradara Afrian Baskoro memilih untuk mengangkat naskah lawas Where the Cross is Made karya Eugene O’Neill.

Meskipun naskah tersebut diterbitkan pada tahun 1923, Baskoro meyakini bahwa cerita dalam drama ini tetap relevan dan dapat diterima oleh generasi masa kini.

Tema-tema dalam naskah ini, seperti trauma, konflik batin, dan pencarian makna hidup, memiliki kesamaan dengan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.

Dengan pendekatan yang cermat, Baskoro menghidupkan karya klasik ini, menghubungkannya dengan realitas modern, dan menjadikannya sebuah pengalaman teater yang resonan dengan audiens masa kini.

"Harapannya dengan mengangkat isu pendidikan orang tua ke anak ini, masyarakat lebih berhati-hati dalam menanamkan nilai-nilai ke anaknya, jangan sampai anak-anak mengalami pengalaman traumatis seperti yang dialami tokoh Nat," ujar Baskoro.

Pentas Teater Gema UPGRIS juga melibatkan berbagai pihak yang memberikan kontribusi penting, salah satunya adalah Akhmad Sofyan Hadi, atau yang akrab dipanggil Ian, seorang guru dari Kendal.

Dalam pementasan ini, Ian memerankan sosok Kapten Isaiah Bartlett, seorang tokoh yang terobsesi melebihi batas.

Karakter ini menjadi pusat konflik dalam drama, dengan obsesi yang menghantui dan mempengaruhi banyak aspek kehidupannya.

Bagi Ian, menjadi bagian dari pementasan ini adalah sebuah kehormatan. Ia berharap penampilannya dalam peran yang penuh emosi ini dapat memberikan dampak yang mendalam bagi penonton.

Harapannya, pentas ini mampu "meneror" siapa saja yang menyaksikan, menghadirkan pengalaman teater yang menggugah dan memprovokasi pemikiran tentang obsesi, trauma, dan batas-batas manusiawi.

"Bahwa sebelum ramai dunia menggunakan minyak bumi, ternyata perburuan paus lebih dahulu ada untuk diambil minyaknya. Juga peristiwa-peristiwa lain di dalamnya seperti obsesi seorang ayah kepada anaknya sehingga membuat batas kenyataan dan ilusi menjadi nyaru," kata Ian.

Pentas Teater Gema UPGRIS semakin memikat dengan penggabungan latar rumah di daerah pesisir yang dirancang seperti kapal, menciptakan suasana yang sangat mendalam dan unik.

Desain panggung ini membawa penonton ke dalam dunia yang penuh dengan atmosfer petualangan, seperti yang dialami oleh para pemburu paus.

Pengaturan rumah yang menyerupai kapal memberikan nuansa yang kuat akan kehidupan di laut, sekaligus menggambarkan karakter-karakter yang terperangkap dalam obsesi mereka dengan masa lalu dan tujuan yang tak terjangkau.

Selain itu, ilustrasi musik akrobat yang dimainkan selama pementasan semakin memperkaya pengalaman teater ini.

Musik yang dinamis dan penuh ketegangan ini mengiringi setiap adegan, menggiring penonton seolah-olah turut berpetualang dalam perjalanan dramatis para tokoh.

Semua elemen ini—dari setting yang visual hingga musik yang menggugah—bekerja bersama untuk menciptakan pengalaman yang mendalam, mengajak penonton menyelami dunia penuh obsesi, ketegangan, dan petualangan yang menanti.

"Pertunjukan teater kali ini sangat meriah karena ternyata penonton sangat antusias, bukan hanya dari seniman teater tapi juga masyarakat luas. Semoga pertunjukkan ini tidak hanya menyajikan totonan tapi juga tuntunan," tutur Pembina Teater Gama, Ahmad Ripai.*