Masyarakat Tembakau Menolak Regulasi Rokok Tanpa Merk

Pekerja pabrik rokok kretek.
Sumber :
  • Dok Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman DIY

Jogja, VIVA JOGJA - Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (RTMM) Daerah Istimewa Yogyakarta menolak kebijakan baru tentang industri rokok yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK), tentang kemasan polos rokok tanpa merek yang tengah digodok pemerintah dalam RPMK, akan merugikan petani tembakau, buruh, dan industri kretek secara keseluruhan yang merupakan industri yang legal. Kebijakan restriktif zonasi larangan penjualan dan iklan luar ruang produk tembakau pada PP 28/2024 juga akan memberikan pukulan.

Ketua RTMM DIY Waljid Budi Lestarianto kepada media, Sabtu (14/09/2024) menegaskan,  regulasi itu akan merugikan industri hasil tembakau (IHT), termasuk peritel, petani, tenaga kerja, dan lainnya.

Karena itu, Waljid mewakili seluruh pekerja di sektor tembakau meminta agar Presiden RI Ir Joko Widodo sekaligus Presiden terpilih Prabowo Subianto, untuk meninjau pasal bermasalah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 Tentang Kesehatan serta Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Regulasi RPMK dan PP 28/2024 (PP Kesehatan) tidak hanya merugikan industri tembakau, tetapi juga berdampak besar pada mata rantai produksi dan distribusi yang mayoritas merupakan UMKM.

Sebagai ilustrasi, salah satu ketentuan yang mengatur standarisasi kemasan dan mensyaratkan kemasan rokok polos tanpa merek (plain packaging), justru memperkuat pasar rokok ilegal.

Dalam pandangan serikat pekerja RTMM, peraturan yang tertera dalam PP 28 Tahun 2024, maupun RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik ini akan menimbulkan dampak yang lebih destruktif. Oleh karena Presiden harus membatalkan dan tidak menyetujui ketentuan standardisasi berupa kemasan polos dengan menghilangkan identitas merek produk tembakau dalam RPMK yang akan segera disahkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Hal ini berpotensi mendorong makin maraknya produk illegal yang merugikan semua pihak dan menggerus penerimaan negara.

Dikatakan, dalam praktik di lapangan, pelaku rokok ilegal dapat semena-mena memalsukan kemasan produk rokok resmi, serta tidak membayar cukai.

Pasalnya, saat ini pasar rokok ilegal yang diperkirakan mencapai 20-35 miliar batang, sudah sangat sulit untuk diatasi. Jika kemasan polos rokok tanpa merek justru akan mendorong rokok ilegal.

“Hal ini jelas berdampak negatif bagi seluruh mata rantai industri hasil tembakau Indonesia, maupun bagi negara. Karenanya, kami mohon pemerintah tidak semakin menyuburkan peredaran rokok ilegal dengan mendorong regulasi eksesif,” ujarnya.

Selanjutnya, pemerintah juga tidak memberlakukan batas maksimal tar dan nikotin untuk produk tembakau.

“Industri tembakau Indonesia memiliki karakteristik khas yang perlu kita jaga sebagai bagian dari kekayaan budaya. Pemberlakuan batasan tar dan nikotin akan membatasi hal tersebut, serta berpotensi mengancam serapan dari para petani tembakau local,” terangnya.

Selain itu, menurut Waljif Budi Lestarianto, memberlakukan larangan zonasi penjualan dalam radius 200 meter juga harus dicabut, mengingat sudah ada pembatasan umur untuk pembelian produk tembakau, dan tidak memberlakukan larangan zonasi iklan luar ruang dalam radius 500 meter terhadap titik iklan yang sudah beroperasi saat ini.

“Kami, mewakili jutaan masyarakat Indonesia yang terdiri dari petani tembakau, petani cengkeh, pedagang kecil dan peritel, buruh linting dan tenaga kerja pabrikan beserta pelaku industri kreatif/periklanan memohon perlindungan serta kebijaksanaan Presiden Republik Indonesia,” ucapnya. (*)