TPA open dumping ditutup, Harus Tumbuh Kesadaran Baru Pengelolaan Sampah
- Dok Humas UGM
YOGYAKARTA, VIVA Jogja - Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) atau TPA Piyungan Bantul DI Yogyakarta menjadi salah satu dari 343 Tempat Pembuangan Akhir (TPA) open dumping atau pembuangan sampah terbuka yang ditutup.
Penutupan ini bukan sekadar memunculkan persoalan teknis pengelolaan sampah, namun kebijakan ini mencerminkan pergeseran paradigma dalam tata kelola lingkungan yang menuntut kesiapan sistemik dari pemerintah daerah serta kesadaran kolektif masyarakat.
Menanggapi itu, Dosen teknik Kimia UGM, pemerhati pengelolaan lingkungan Dr Ir Wiratni Budhijanto mengatakan, penutupan TPA open dumping merupakan konsekuensi logis dari kondisi eksisting yang sudah jauh melampaui kapasitas desainnya. Menurut Dr. Wiratni, secara prinsip saat ini yang terjadi di seluruh daerah terdapat dua jenis sistem pengelolaan akhir sampah, yaitu open dumping dan sanitary landfill.
Dengan sistem open dumping itu, sampah hanya ditumpuk begitu saja tanpa perlakuan lebih lanjut, sedangkan pada sanitary landfill, setiap lapisan sampah harus diurug dengan tanah agar proses pembusukan berjalan lebih baik dan dampak lingkungannya dapat ditekan. Menurutnya, TPA semestinya mengadopsi sistem sanitary landfill. “Karena sampah datang terus, pemerintah nggak bisa nunggu tanahnya ada atau bisa dibeli. Akhirnya, TPA yang seharusnya sanitary landfill jadi open dumping juga. Padahal ini jelas tidak boleh,” jelasnya.
Selain mengakibatkan munculnya bau dan estetika, sistem terbuka ini juga menyebabkan proses pembusukan yang sangat lambat, menciptakan ‘gunung sampah’ yang tak kunjung habis. TPA Piyungan sudah sejak lama menunjukkan tanda-tanda kritis. Selain volume yang jauh melebihi kapasitas, keberadaan permukiman yang semakin mendekat ke kawasan TPA menambah risiko sosial dan kesehatan.
Keputusan untuk menutup TPA tersebut tidak bisa dilepaskan dari urgensi multidimensi, mulai dari teknis, ekologis, hingga sosial. “Sejak lima atau sepuluh tahun lalu sebetulnya TPA Piyungan itu sudah penuh. Dari aspek desain, lingkungan, dan sosial, memang sudah tidak layak lagi digunakan,” tegasnya.
Namun, dibalik urgensi penutupan itu, Dr. Wiratni melihat momen ini sebagai peluang besar untuk mengubah pola pikir masyarakat terhadap sampah. Selama ini, keberadaan TPA justru memperkuat kebiasaan buruk membuang sampah tanpa pikir panjang. “Kalau TPA ditutup, masyarakat jadi mikir. Buang sampah jadi susah, kita mulai introspeksi. Makan jangan sampai sisa, kemasan dikurangi, bawa tumbler sendiri. Ini mendidik,” ujarnya.