Hari Buruh 1 Mei: Antara Seremonial dan Realita Pahit Kesejahteraan Buruh
- arif
VIVA Jogja - Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day. Di berbagai negara, hari ini menjadi simbol perjuangan dan solidaritas kaum pekerja atas hak-hak dasar mereka, mulai dari upah layak, jam kerja manusiawi, hingga jaminan sosial.
Namun di balik parade, pidato, dan demonstrasi tahunan, tersimpan ironi yang mencolok: nasib buruh, terutama di negara-negara berkembang, tak kunjung sejahtera—bahkan semakin rentan di tengah krisis ekonomi global yang melanda sejak pandemi COVID-19 dan diperparah oleh konflik geopolitik serta tekanan inflasi dunia.
Sejarah Singkat May Day
Hari Buruh 1 Mei berakar dari perjuangan pekerja di Amerika Serikat pada tahun 1886 yang menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam sehari. Aksi tersebut memuncak pada insiden berdarah di Haymarket, Chicago, dan menjadi simbol perjuangan kelas pekerja di seluruh dunia.
Sejak saat itu, tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai momen global untuk mengingatkan dunia tentang pentingnya hak-hak buruh. Krisis ekonomi global saat ini berdampak luas terhadap sektor ketenagakerjaan.
Banyak perusahaan melakukan efisiensi melalui PHK massal, pembekuan upah, hingga pemotongan tunjangan. Di sisi lain, biaya hidup meningkat drastis akibat inflasi, terutama pada kebutuhan pokok, energi, dan transportasi.
Kombinasi ini menjepit kaum buruh dalam tekanan ganda: pendapatan stagnan atau menurun di tengah beban hidup yang melonjak. Meningkatnya ketegangan dalam perdagangan global diperkirakan akan berdampak negatif terhadap kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia.