Raja Ampat Terancam Tambang, Pakar UGM Desak Penegakan Hukum Lingkungan

Kawasan Raja Ampat
Sumber :
  • papuaexplorers.com

YOGYAKARTA, VIVA Jogja – Konflik pertambangan di kawasan Raja Ampat memicu kekhawatiran tidak hanya di kalangan pemerhati lingkungan tetapi juga dari para akademisi. Beberapa izin usaha pertambangan (IUP) memang telah dicabut pemerintah, namun sejumlah perusahaan masih menggugat pencabutan itu dan berpotensi kembali beroperasi.

VW Safari Kayu Jati unik di Jogja Volkswagen Festival 2025

Lebih memprihatinkan, sebagian wilayah tambang berada di kawasan Geopark Raja Ampat, wilayah konservasi yang secara hukum dan etika semestinya dilindungi secara ketat. Situasi ini menjadi ujian serius bagi komitmen pemerintah dalam menjaga keberlanjutan kawasan-kawasan strategis nasional.

Dosen Fakultas Kehutanan UGM, Dr Ir Hatma Suryatmojo menegaskan bahwa kegiatan pertambangan di kawasan hutan harus melalui prosedur yang ketat dan berlapis, terutama jika lokasi tambang berada di kawasan konservasi, termasuk hutan lindung. Menurutnya, proses ini seringkali dipersingkat atau dilewati secara tidak semestinya, terutama saat kepentingan ekonomi mendominasi pertimbangan lingkungan. “Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi area tambang seharusnya melalui perubahan tata ruang maupun pelepasan kawasan hutan sesuai aturan,” jelasnya, Rabu (18/06/2025).

Konten Ekspedisi SNPMB UGM Raih Penghargaan

Hatma Suryatmojo menjelaskan, untuk dapat melakukan tambang di kawasan hutan, perusahaan tidak hanya harus mengantongi IUP dari Kementerian ESDM, tetapi juga harus mendapatkan izin pemanfaatan kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan yang saat ini disebut PPKH (Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan). Namun, ia menyayangkan jika ada perusahaan yang awalnya hanya mengantongi izin eksplorasi, tetapi langsung melangkah ke aktivitas produksi tanpa pengawasan. “Idealnya, pemerintah daerah dan pusat saling memantau, dan proses verifikasi lapangan dilakukan secara ketat sebelum izin diberikan. Sayangnya, lemahnya koordinasi antarlembaga acapkali membuka celah untuk terjadinya pelanggaran administratif maupun substansial,” tegasnya.

Dalam konteks hukum, perusahaan tambang memiliki hak untuk menggugat pencabutan izin ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mayong menyebut bahwa kembalinya izin yang telah dicabut menunjukkan adanya dua masalah sekaligus, yakni kelemahan dalam prosedur administratif dan lemahnya pengawasan pasca pencabutan. Ia menekankan bahwa penegakan hukum lingkungan tidak boleh berhenti di atas kertas tetapi harus menyentuh realitas di lapangan. “Jika pengawasannya lemah, perusahaan bisa saja diam-diam melanjutkan operasi sambil menunggu hasil gugatan,” ungkapnya.

Performent Garasi Performance Institute Dihelat 7 Hari

Ia juga menyoroti bahwa situasi di Papua Barat Daya memang memiliki tantangan geografis dan kapasitas yang tidak seimbang. Wilayah yang luas, terpencil, dan terdiri dari banyak pulau menyulitkan patroli dan pengawasan secara rutin. Selain itu, setelah diberlakukannya UU Minerba 2020 dan UU Cipta Kerja, wewenang perizinan tambang ditarik ke pemerintah pusat, membuat pemerintah daerah kehilangan peran strategis dalam pengawasan di lapangan. Ketimpangan antara kebijakan terpusat dan kenyataan geografis di daerah harus segera dijembatani melalui pendekatan yang lebih desentralistik. “Aparat pusat tidak selalu bisa menjangkau detail operasi di daerah terpencil, dan ini memperbesar risiko pelanggaran yang luput dari perhatian,” katanya.

Dikatakan, solusi ideal pengawasan adalah membangun sistem pengawasan lintas sektor yang bersifat kolaboratif dan adaptif. Mayong menekankan perlunya kerja sama antara Kementerian Kehutanan, ESDM, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum. Ia juga menambahkan bahwa peningkatan kapasitas teknis dan dukungan anggaran pada lembaga pengawasan harus menjadi prioritas dalam reformasi sistem monitoring tambang. “Ditjen Gakkum Kemenhut perlu proaktif turun ke lapangan dan bekerja dengan data spasial yang akurat,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya
img_title