Perang Iran–Israel, Pemerintah Perlu Antisipasi Guncangan Stabilitas Ekonomi

Prof Faris Al-Fadhat
Sumber :
  • Humas UMY

YOGYAKARTA, VIVA Jogja - Konflik bersenjata antara Iran dan Israel dikuatirkan akan mengancam stabilitas geopolitik kawasan Timur Tengah, yang juga akan berimbas pada stabilitas ekonomi global, termasuk Indonesia. Pakar Ekonomi Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Faris Al-Fadhat menyampaikan, perang ini berpotensi menekan pasar Iran, bahkan bisa berujung pada penghentian total aktivitas ekspor-impor negara tersebut.

Khawatir Dampak Pengerukan Tanah Agrowisata, Warga Banjaroya Mengadu ke Dewan

Menurutnya, konflik ini bukan hanya menjadi ancaman politik dan keamanan, tetapi juga berdampak ekonomi. “Jika pasokan dari Iran terganggu, termasuk untuk produk yang biasa diekspor dari Indonesia, maka rantai pasok domestik akan ikut terdampak,” ujar Prof Faris yang juga menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Pengembangan Universitas dan AIK UMY, Sabtu (21/06/2025).

Meskipun nilai perdagangan Indonesia terhadap Iran tergolong kecil, yakni di bawah US $ 200 juta, dampaknya tetap signifikan karena produk ekspor tersebut sebagian besar diproduksi di dalam negeri. Gangguan ekspor berarti terganggunya kegiatan produksi nasional, yang pada gilirannya dapat mengguncang stabilitas ekonomi.

Direksi dan Karyawan PT SAK Sampaikan Aspirasi di DPRD Kulonprogo

Faris juga mengingatkan bahwa Indonesia sangat bergantung pada negara lain untuk pasokan energi, khususnya dari Qatar dan Arab Saudi. Volume perdagangan dengan Qatar mencapai 680 juta USD, dan hampir 800 juta USD dengan Arab Saudi. “Jika konflik memburuk dan menyeret kedua negara itu, Indonesia bisa terdampak lebih besar, terutama pada sektor energi yang sangat krusial,” imbuhnya.

Menurutnya, kondisi ini juga menjadi pengingat pentingnya mendorong transisi energi ke energi baru dan terbarukan (EBT). Namun, ia menilai, langkah tersebut tidak bisa dilakukan secara instan. “Saya pesimistis transisi energi bisa cepat terealisasi. Saat ini, lebih dari 60 persen energi Indonesia masih bergantung pada minyak dan batu bara. Perlu waktu panjang dan investasi besar untuk benar-benar beralih ke energi hijau,” jelasnya.

Rektor UGM Luncurkan University Services, Layanan Satu Pintu

Selain itu, pemerintah juga perlu menyiapkan skema insentif yang kuat bagi sektor swasta jika ingin mempercepat proses transisi. Kemudahan regulasi dan insentif pajak harus menjadi perhatian utama agar Indonesia punya jalur jelas menuju ekonomi hijau.

Faris menekankan bahwa situasi saat ini bisa dikategorikan sebagai The Great Disruption, karena terjadi dalam dua spektrum besar: Eskalasi geopolitik dan krisis tata kelola ekonomi global.

Halaman Selanjutnya
img_title