Ini Istilah Kreak Sebutan untuk Gangster Semarang, Aksinya Mirip Klithih Jogja
- VIVA Jogja/Polrestabes Semarang
VIVA Jogja - Istilah Kreak belakangan ini ramai jadi perbincangan di media sosial, menyusul aksi gangster remaja yang meresahkan warga Kota Semarang.
Aksi para preman yang rata-rata berusia remaja itu, sempat menghebohkan jagat maya karena berbuntut pembunuhan terhadap seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta (PTS) di ibukota Jateng itu.
Korban Muhammad Tirza Nugroho tewas secara mengenaskan pada Selasa (17/9) setelah dibacok oleh tiga pelaku anggota gangster All Star di depan SPBU Jalan Kelud Raya Kecamatan Gajah Mungkur Semarang.
Korban tewas ternyata merupakan korban salah sasaran, karena para pelaku menduga korban adalah anggota gangster lawan.
Buntut peristiwa itu, muncul istilah Kreak yang jadi nama lain dari para anggota gangster Semarangan itu, yang aksinya mirip-mirip klithih di Jogja.
Pascakejadian, Polrestabes Semarang pun merilis sejumlah zona merah di wilayah Semarang yang harus diwaspadai warga yang suka pulang malam.
Untuk zona merah di wilayah Semarang ada beberapa tempat, yakni:
1. Tlogosari 2. Sampangan 3. Kelud 4. Genuk 5. Arteri 6. MT.Haryono 7. dr.Cipto 8. Semarang Utara 9. Gunung Pati 10. Gayamsari 11. Tembalang ( indikasi ) 12. Pedurungan
Lantas apa sebetulnya Kreak itu? Joko J Prihatmoko, pengamat sosial politik dari Fisip Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) mengatakan, istilah Kreak adalah akronim dari kere dan mayak.
Kere, dalam Bahasa Jawa artinya miskin. Sedangkan mayak artinya banyak tingkah, kemlinti, kemaki, kemlethak, dan sejenisnya.
“Saya tidak tahu siapa yang memulai menggunakan istilah itu. Istilah itu dipakai mungkin untuk mewakili dan menggambarkan gaya, karakter dan orientasi remaja yang disebut kreak. Kita lihat ciri-ciri mereka yang tampaknya menegaskan istilah tersebut,” ujar Joko, kepada VIVA Jogja, Jumat (27/9).
Menurut Joko, persoalan mendasar dari munculnya remaja-remaja yang disebut Kreak itu, sejatinya adalah kemiskinan. Kemiskinan, kata Joko, bagi para remaja itu bukan sebagai aib, namun sebuah “kebanggaan”.
Mereka menjadi “sah” untuk berbuat semaunya, dengan dibuktikan dari mayak (banyak tingkah).
“Miskin bukan membuat malu, tapi justru membuat mereka sombong, dengan bertindak semaunya, termasuk melakukan tindakan melanggar hukum,” tegas Joko.
Mencermati fenomena itu, Joko mengatakan, para remaja itu membutuhkan penyaluran energi dan stimulan kreatifitas.
“Agar emosi mereka tersalurkan dan potensi mereka berkembang. Untuk itu, mereka harus mempunyai kegiatan secara fisik,” ujar Joko.
Maka, diperlukan pusat-pusat kegiatan remaja (youth center) dan ruang publik yang mampu menampung aktivitas mereka.
“Mereka perlu difasilitasi dan panduan. Misalnya, sport center outdoor yang memfasilitasi berbagai jenis aktivitas olahraga untuk publik,” pungkasnya.