Sarat Filosofis dan Budaya, Keraton Jogjakarta Gelar Labuhan Parangkusumo

Tradisi Labuhan Parangkusumo digelar di pantai Parangkusumo Bantul.
Sumber :
  • IST

JOGJAKARTA, VIVA Jogja- Hajat Dalem Labuhan Parangkusumo, tradisi Keraton Yogyakarta pada Tingalan Jumenengan Dalem (Ulang Tahun Kenaikan Takhta) Sri Sultan Hamengku Buwono X, kembali digelar di Pantai Parangkusumo, Kabupaten Bantul.

Tradisi Labuhan Parangkusumo menjadi bagian tak terpisahkan yang melibatkan sakralnya ritual sarat makna akan budaya dan tradisi.

Labuhan Parangkusumo digelar di penghujung Januari 2025, bertepatan dengan Tingalan Jumenengan Dalem ke-36 Sri Sultan Hamengku Buwono X ini.

Diadakan rutin setiap tahun pada bulan ruwah, labuhan ini menjadi puncak Tingalan Jumenengan Dalem JE 1985/2025. Sebelumnya acara telah dibuka dengan prosesi Ngebluk 27 Januari 2025.

Selanjutnya tradisi Ngapem dan Sugengan Tingalan Jumenengan Dalem 29 Januari 2025.

Puncak acara ditutup dengan labuhan di tiga tempat, yaitu Parangkusumo, Gunung Merapi dan Gunung Lawu. 

“Labuhan memiliki berbagai fungsi yang sangat filosofis. Fungsi tersebut diantaranya sebagai permohonan dan ucapan terima kasih atas apa yang sudah alam berikan,” ujar Miyarto, pegiat budaya sekaligus abdi dalem Keraton Jogjakarta. 

Uborampe persembahan dilarung di pantai Parangkusumo

Photo :
  • IST

Miyarto menyebut, labuhan adalah sebuah persembahan untuk menghargai alam semesta dan kepada Tuhan. Terdapat 30 ubarampe yang dilabuh, antara lain pakaian, celana, potongan rambut, dan blangkon. 

“Ubarampe tersebut sebelumnya sudah diinapkan satu malam di Bangsal Srimanganti. Kemudian diberangkatkan dari Kraton Yogyakarta pukul 08.00 WIB ke Parangkusumo,” terangnya. 

Ubarampe dilepas oleh KPH Wironegoro, KPH Purbodiningrat, KPH Purbodiningrat dan KPH Yudonegoro yang merupakan mantu dalem, kepada abdi dalem untuk di labuh.

“Kami berharap acara ini mampu menggugah keinginan generasi muda untuk berkontribusi juga untuk melestarikan kebudayaan,” pinta Miarto.

Sementara itu, Kusuma, salah seorang dosen UGM yang merupakan pelaku budaya menambahkan, prosesi labuhan adalah wujud kearifan lokal yang dapat bersatu dengan alam, sehingga dapat membentuk kekuatan. 

Menurut Kusuma, akulturasi ini menjadi bagian penting dari pelestarian budaya dan tradisi, agar tidak tergerus zaman, terutama karena paparan teknologi. 

“Saya kira perlu adanya pusat informasi terkait acara labuhan itu di Parangkusumo jika acara tersebut berlangsung. Hal ini agar dapat mengedukasi masyarakat lebih luas dan tidak meninggalkan kearifan lokal,” ujarnya. 

Selain sebagai bentuk tradisi dan budaya, acara sakral penuh filosofis ini juga menarik antusiasme masyarakat, baik dari Yogyakarta maupun luar. 

Rega Putra, salah satu wisatawan asal Lampung turut serta berebut uborampe. 

“Sakralnya prosesi labuhan ini membuat saya tertarik ikut serta dalam prosesi ini.  Senang sekali karena mendapatkan hadiah ya, nantinya bunga hasil labuh akan saya bawa pulang,” ucap Rega.