Ini Sejarah Alun-Alun di Keraton Yogyakarta
Bangsal Pangurakan terdapat di sisi utara, berjumlah dua dan mengapit jalan. Fungsinya sebagai tempat ngurak, mengusir warga yang tidak taat pada aturan. Selain itu, Bangsal Pangurakan juga digunakan untuk menyimpan senjata. Setiap hari, bangsal ini dijaga oleh Abdi Dalem Geladhag.??
Bangsal Balemangu juga berjumlah dua, letaknya mengapit gerbang menuju Masjid Gedhe. Bangsal ini digunakan sebagai tempat untuk pengadilan agama.
Selain sebagai tempat berlangsungnya acara-acara yang diadakan Kesultanan Yogyakarta, Alun-Alun Utara juga menjadi tempat jika ada masyarakat yang ingin mengadukan persoalan kepada Sultan. Rakyat yang merasa diperlakukan tidak adil akan berpakaian putih, duduk di bawah panas matahari (pepe) di tengah alun-alun hingga Sultan melihat dan memanggilnya. Praktek mengadukan nasib di bawah sengatan matahari ini disebut laku pepe atau tapa pepe.
Alun-Alun yang membentang di muka Keraton Yogyakarta maupun yang berada di pungkuran, bukanlah semata ruang terbuka untuk menampung segala akitivitas khas warga kota seperti yang terlihat saat ini. Kehadiran Alun-Alun ini memenuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan. Ruang terbuka luas ini menjadi perangkai berbagai elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial. Misalnya antara keraton dan Masjid Gedhe, atau antara Sultan dan rakyatnya.
Alun-Alun Selatan
Alun-alun Selatan juga dikenal dengan nama Alun-Alun Pengkeran (Alun-Alun Belakang). Letaknya masih berada di dalam benteng keraton, di tengahnya ditanam dua buah pohon beringin. Beringin ini dinamakan supit urang dan diberi pagar keliling sehingga juga dikenal sebagai Ringin Kurung. Pagar yang mengelilingi dua batang pohon ini diberi ornamen berupa bulatan dan bentuk-bentuk busur. Sedang di bagian pinggirnya terdapat pohon pakel (mangga) dan pohon kweni, sebagai perlambang kedewasaan (akil baligh) dan keberanian (wani).