Butoh Ekspresi Kebebasan Tubuh dan Amarah Sosial

Pementasan The Life of Butoh (Ist)
Sumber :

Yogyakarta,  VIVA JOGJA - The Life of Butoh  yang disajikan 4-5 September 2024 lalu di Gelanggang Inovasi dan Kreativitas UGM Yogyakarta, menjadi pembuktian bahwa seni avant garde asal Jepang, bisa melampaui zamannya, bergerak dinamis dan tetap total dengan kehendak bebas yang ingin ditabuh oleh para seniman olah tubuh dan rasa “Butoh”.

KPU Gagalkan Kampanye Akbar Kusuka, Tim Fokus menangkan Paslon di Bilik Suara

Mengusung kultur Indonesia -Jepang, pentas ini merupakan hasil kolaborasi dari seniman-seniman Butoh di dua negara yang diwakilkan oleh masing-masing enam performer Indonesia dan Jepang.

Butoh dicetuskan oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya budaya barat setelah kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya, merepresentasikan provokatif perlawanan dalam arti sesungguhnya.

Pilkada Sleman 2024 : Paslon Harda-Danang tak gelar Kampanye Akbar

Head of Community & Experience GIK UGM Bambang Paningron mengatakan, Butoh merupakan kesenian avant garde, yang dapat dikatakan mendahului zamannya. Karena pola kesenian ini, merupakan penggambaran pola dari seorang seniman yang mengkomunikasikan masalahnya melalui buku dan mengekspresikannya melalui elemen-elemen seni yang ada.

"Itu bisa tari, seni musik, teater, seni rupa, kemudian apapun yang terkait dengan seni, bahkan lingkungan. Karena mereka sebenarnya tidak terikat pada ruang, tidak terikat pada ada penonton atau tidak, tidak terikat pada hal-hal yang sifatnya normatif pada seni pertunjukan," katanya.

Paska Mediasi Unit Apartemen Malioboro City akhirnya diserahkan

Menghadirkan empat performer terkemuka dari Jepang, Jun Amanto, Mutsumi-Neiro, Rina Takahashi, dan Minoru Hideshima, juga dari Indonesia, Rianto, Fitri Setyaningsih, Broto Wijayanto, Anter Asmorotedjo, Endy Baroque, dan Mugiyono Kasido,  'The Life of Butoh' dikemas dalam berbagai bentuk sajian yang tidak hanya menawarkan pengalaman namun juga pengetahuan mendalam tentang Butoh di dunia.

'The Life of Butoh' akan menghadirkan live performance, tari kontemporer, pemutaran film Butoh, pameran poster Butoh, dan talk show di setiap sesi.

Setiap tampilan dikemas dengan nuansa apik, menegangkan, dan bermakna mendalam tentang kehidupan manusia. Seni Butoh juga mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman yang turut mengubah pola hidup manusia.

Garin Nugroho, Chief Program Officer GIK UGM juga menjelaskan perbedaan pemaknaan gerak tubuh Butoh di era modern. “Tubuh telah menjadi elemen penting dalam gaya hidup modern, sering dijadikan objek untuk dipamerkan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial. Tubuh yang ideal sering kehilangan realitas dan pengetahuan mendalam tentang dirinya sendiri,”.

Salah satu tampilan tari berjudul “Hormon 46++” karya Fitri Setyaningsih mengangkat kisah hidup perempuan berusia 46 tahun ke atas. Tubuh perempuan di masa tersebut mulai mengalami perlambatan siklus, bahkan mulai memasuki masa pemberhentian reproduksi. Perasaan tersebut diekspresikan melalui simbolis gunung merapi yang menyimpan lava panas di dalam bumi, kemudian perlahan naik ke permukaan, dan menjadi lahar padat.

“Perubahan itu pasti akan datang, setiap perempuan pasti akan mengalaminya. Tapi tidak perlu takut, itu adalah proses hidup dan kita harus menerimanya,” ungkap Fitri.

Mugiyono Kasido, seniman Indonesia yang berhasil mengeksplorasi alat musik Gong Tiup asal Banyumas. Melalui tajuk “Bayu Akasa” atau “Angin Kehidupan”, Mugiyono mempersembahkan lapisan-lapisan suara dari gong tiup tanpa melodi. Hasil perpaduan tiupan alat musik tradisional tersebut menghasilkan pertunjukkan yang baru dan menawan. Pertunjukkan ini dimaknai sebagai alur kehidupan yang terus berjalan dan berkelanjutan.

Sedang Neiro dan Mutsumi Yamamoto, dua seniman asal Jepang, menampilkan karyanya dengan hampir tanpa busana. Perpaduan musik klasik dan modern Jepang menjadi satu dalam rangkaian tarian ternyata menciptakan atmosfer baru nan unik. Keduanya mengeksplorasi pemaknaan akan kreativitas dna pemikiran yang tidak pernah terbatas.

“Batas itu adalah ilusi. Kita tidak ingin memaknai penampilan kita, tapi bagaimana penonton memaknainya adalah hal yang lebih penting,” pungkas Neiro.

Selain ketiga penampilan tersebut, masih ada serangkaian tampilan lainnya yang juga menarik untuk dieksplorasi. Seperti “Kaguya” yang mengisahkan cinta seorang pria dengan Putri Bulan dan tarian Lengger sebagai bentuk tarian lintas gender.

Meskipun bernuansa provokatif, Butoh memiliki cakupan inspirasi yang jauh lebih bebas. Seniman dapat mengeksplorasi berbagai fenomena kehidupan, termasuk metamorfosis tubuh, ideologi, sampai idealisme zaman. (*)

 

 

.