Revisi UU Kejaksaan, Tuai Polemik dan Dinilai Beresiko Melemahkan Sistem Hukum

Dialog publik RUU Kejaksaan
Sumber :
  • IST

SEMARANG, VIVA Jogja - Beberapa pakar hukum tampak menyoroti Revisi Undang-Undang Kejaksaan yang tertuang dalam UU No. 11 Tahun 2021 karena dalam sejumlah pasal dinilak memiliki potensi melemahkan sistem hukum Indonesia.

HUT ke 17 Partai Gerindra, Ketua DPC Gerindra Karanganyar : Perkuat Soliditas Partai

Perspektif kritis terhadap revisi UU Kejaksaan tersebut pun menjadi agenda dalam dialog publik bertajuk "Kejaksaan 'Superbody' dan Ancaman Kekuasaan Absolut" yang digelar di Gedung Theater Prof. Qodri Azizy ISDB, Fakultas Syariah & Hukum, UIN Walisongo, Semarang, Rabu 5 Februari 2025.

Prof. Achmad Gunaryo, Guru Besar Ilmu Hukum UIN Walisongo dalam paprannya mengingatkan bahwa revisi ini bisa membawa risiko besar bagi sistem hukum Indonesia. 

Banjir Berdampak Serapan Gabah, 60 Ribu Hektar Sawah Terendam di Jateng

Hal itu dikarenakan dalam revisi UU Kejaksaan adalah meluasnya kewenangan jaksa tanpa diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat. 

"Tantangan terbesar kejaksaan terletak pada integritas yang belum sepenuhnya terbangun. Undang-undang maupun Komisi Kejaksaan hanya menjadi sarana pembagian kekuasaan tanpa menghadirkan perbaikan substansial," ujarnya.  

Sedimentasi Parah Pemicu Banjir, PUPR Kucurkan Rp1,1 Triliun Normalisasi Sungai Wulan Kudus

Ia juga menyoroti bahwa revisi ini seharusnya berorientasi pada penguatan integritas kelembagaan, bukan sekadar memperbesar kekuasaan jaksa tanpa kontrol yang efektif.  

"Beberapa pasal dalam UU Kejaksaan berpotensi melemahkan sistem hukum Indonesia yang sudah rapuh. Kewenangan yang terpusat tanpa mekanisme pengawasan yang jelas hanya akan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan," katanya.  

Selain itu, ia juga mengkritisi lemahnya pengawasan terhadap kejaksaan yang dinilai hanya bersifat formalitas.  

"Pengawasan terhadap kejaksaan hanya sebagai formalitas yang tidak cukup terhadap kekuatan jaksa yang sangat besar. Kejaksaan berisiko menjadi alat untuk menegakkan kekuasaan tanpa kontrol yang efektif," ucapnya.  

Polemik lain dalam UU no 11 tahun 2021 yang merevisi UU Kejaksaan tersebut terdapat dalam beberapa pasal antara lain terkait kewenangan jaksa yang semakin luas, termasuk dalam penyelidikan dan penuntutan.  

Aspek kontroveesial lain menurut Bambang Riyanto, M.H, Advokat & Praktisi Hukum dan Politik adalah pemberian senjata api bagi jaksa untuk perlindungan diri. 

Kebijakan ini dinilai berpotensi meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan.

"Terutama jika tidak diiringi dengan pengawasan yang ketat," ucapnya.

"Perluasan kewenangan jaksa dalam penyelidikan perkara dikhawatirkan akan mengikis prinsip checks and balances, yang seharusnya menjadi fondasi utama dalam sistem hukum yang adil," lanjutnya.

Perubahan ini, juga dianggap bisa menjadi sebuah kemunduran bagi penegakan hukum jika tidak diimbangi dengan sistem pengawasan yang benar-benar independen dan partisipatif dari masyarakat.

"UU revisi ini perlu dikaji ulang, terutama dalam membatasi kewenangan jaksa agar tidak berpotensi disalahgunakan," imbuhnya.

Kesimpulan dari diskusi tersebut, Khapid mahasiswa UIN Walisongo selaku moderator menyampaikan bahwa revisi UU Kejaksaan tidak boleh hanya berfokus pada memperkuat kewenangan kejaksaan, tetapi juga harus memastikan adanya mekanisme pengawasan yang lebih efektif dan transparan.  

"Tanpa revisi lebih lanjut yang memperjelas batasan kewenangan dan mekanisme pengawasan, dikhawatirkan kejaksaan akan menjadi lembaga yang terlalu kuat tanpa kontrol yang memadai, yang justru bisa mengancam independensi hukum," ucanya.

Sebagai langkah ke depan, lanjutnya, diperlukan kajian mendalam dan partisipasi publik dalam perbaikan regulasi ini. 

Jika tidak, revisi yang seharusnya menjadi solusi tapi justru mengkebiri dan melemahkan sistem hukum sehingga membuka celah penyalahgunaan kekuasaan.

Acara yang diinisiasi oleh Dewan Mahasiswa (DEMA) Fakultas Syariah & Hukum UIN Walisongo tersebut juga menghadirkan Muhammad Farhan, SSy, M.H (Ketua PKY Jateng sekaligus Penghubung Komisi Yudisial) dihadiri lebih dari 50 peserta, mayoritas mahasiswa hukum.