Marak kasus keracunan, MBG harus disajikan orang yang Berkompeten

Dua bocah menikmati Makan Bergizi Gratis
Sumber :
  • Istimewa

 

VW Safari Kayu Jati unik di Jogja Volkswagen Festival 2025

YOGYAKARTA, VIVA Jogja - Kasus keracunan massal berulang-kali terjadi selama proses penyajian program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejumlah siswa mengeluhkan berbagai raksi setelah mengonsumsi makanan.

Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof Sri Raharjo mengatakan, program MBG sejatinya memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan status gizi masyarakat, khususnya siswa, melalui pemberian makanan bergizi secara gratis. Namun, aspek keamanan pangan tidak boleh diabaikan dalam pelaksanaannya. “Kalau makanannya tidak aman, maka tidak boleh disajikan,” katanya.

Konten Ekspedisi SNPMB UGM Raih Penghargaan

Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM ini mengatakan keracunan makanan bisa disebabkan oleh dua hal, yakni  food intoxication atau keracunan akibat racun yang dihasilkan oleh bakteri dan food infection atau infeksi akibat mengkonsumsi bakteri patogen. Keduanya kerap terjadi tanpa tanda-tanda yang terlihat. “Makanan bisa tampak dan terasa normal saat dikonsumsi, tetapi efeknya baru muncul beberapa jam atau bahkan keesokan harinya,” ujarnya.

Menurut Raharjo, salah satu tantangan besar dalam program seperti MBG adalah skala produksinya yang sangat besar apalagi menyediakan ribuan paket makanan membutuhkan manajemen ketat dalam setiap tahap  mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, hingga proses pemasakan. “Kalau 3.000 paket makanan harus disiapkan, itu bukan urusan dapur rumah tangga lagi. Harus ada fasilitas, alat, dan orang yang kompeten,” ujarnya.

Performent Garasi Performance Institute Dihelat 7 Hari

Adapun keracunan makanan  yang ditimbulkan berasal dari kesalahan atau kelalaian dari pengelola menu seperti bahan mentah yang tidak disimpan dengan benar, daging yang tidak dimasak merata, atau peralatan yang tidak higienis. Misalnya, daging yang tampak matang di luar belum tentu telah mencapai suhu 75°C di bagian dalam suhu minimal yang diperlukan untuk membunuh bakteri patogen. Bahkan bisa terjadi dari pemilihan bahan baku pun mengandung risiko. “Daging dari pasar tradisional, misalnya, kerap tidak dibersihkan dengan baik setelah proses pemotongan sehingga rentan terkontaminasi oleh kotoran atau isi usus hewan,” ungkapnya.

Solusi yang ditawarkan Prof. Raharjo mencakup tiga hal penting, yakni kesadaran, kapasitas, dan kontrol. Semua pihak baik penyedia, pelaksana, hingga pengawas menurutnya harus memahami risiko dan menerapkan standar keamanan pangan secara disiplin. Mulai dari penggunaan lemari es yang memadai, alat masak berkapasitas besar, hingga prosedur memasak yang memastikan setiap bagian makanan benar-benar matang. “Kalau tidak tuntas panasnya, bakteri masih bisa hidup dan itu bisa menyebabkan sakit,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya
img_title