17 November Hari Orang Miskin Sedunia: Ini Hakikat Miskin dalam Ajaran Beberapa Agama

ilustrasi orang miskin
Sumber :
  • VIVA Jogja/getty images

Kemiskinan Material dan Kepedulian Sosial: Gereja Katolik juga mengajarkan pentingnya solidaritas dengan orang miskin secara material.

Miskin dalam pengertian ini adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang kekurangan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan akses ke pelayanan kesehatan.

Gereja mengajak umatnya untuk peduli terhadap mereka yang berada dalam situasi ini dan untuk berbagi berkat materi yang mereka miliki. Hal ini tercermin dalam ajaran Gereja tentang kasih terhadap sesama, yang digarisbawahi dalam Perintah Kasih Yesus: "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (Matius 22:39).

Gereja mengajarkan bahwa mereka yang berlimpah harus membantu yang membutuhkan, dan ini adalah panggilan moral bagi umat Katolik untuk terlibat dalam amal sosial dan keadilan.

Secara keseluruhan, kemiskinan dalam ajaran Katolik lebih dari sekadar keadaan ekonomi. Itu adalah panggilan untuk hidup dengan kesederhanaan, mengutamakan nilai-nilai spiritual, dan menolong mereka yang membutuhkan.

Kemiskinan juga menjadi bagian dari teladan hidup Yesus, yang meskipun Dia adalah Anak Allah, memilih untuk hidup sederhana dan mengutamakan pelayanan kepada orang miskin dan yang terpinggirkan.

4. Buddha

Dalam ajaran Buddha, istilah "miskin" tidak merujuk secara spesifik pada keadaan fisik atau materi seseorang, melainkan lebih pada kondisi batin, terutama dalam hal kepemilikan dan kemelekatan terhadap hal-hal duniawi.

Secara umum, Buddha mengajarkan tentang ketidakterikatan terhadap kekayaan, harta, dan status sosial. Beliau mengajarkan bahwa kesenangan duniawi, termasuk kekayaan dan kemewahan, tidak akan membawa kebahagiaan sejati atau pencerahan, karena semua itu bersifat sementara dan dapat menyebabkan penderitaan (dukkha).

Buddha mengajarkan empat kebenaran mulia yang terdiri dari:

Dukkha – Penderitaan itu ada, dan merupakan bagian dari kehidupan.

Samudaya – Penderitaan muncul karena keterikatan (tanha), hasrat, dan keinginan terhadap materi dan dunia.

Nirodha – Penderitaan bisa dihentikan dengan mengatasi keterikatan dan keinginan.

Magga – Ada jalan menuju akhir penderitaan, yaitu melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Dalam konteks ini, kemiskinan dalam ajaran Buddha bisa diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melepaskan keterikatan pada harta benda atau duniawi, yang pada gilirannya menyebabkan penderitaan.

Sebaliknya, seseorang yang tidak terikat pada harta benda, meskipun mungkin hidup sederhana, dapat mencapai kedamaian batin yang lebih besar dan bebas dari penderitaan.

Selain itu, kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan dalam hal harta benda sering kali dianjurkan dalam ajaran Buddha, seperti yang terlihat pada praktik para bhikkhu (biksu) yang hidup dengan cara mengandalkan sedekah dan menjauhkan diri dari kemewahan.