Kebenaran Milik Siapa?
VIVA Jogja - Apa itu kebenaran? Dalam filsafat, pertanyaan ini bukan hanya soal definisi, melainkan pangkal dari pencarian manusia terhadap makna dan realitas. Aristoteles menyatakan, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Kant menyebutnya sebagai keselarasan antara pengetahuan dan objek. Sementara Descartes justru memulainya dari keraguan: kebenaran harus lahir dari proses berpikir yang kritis dan tak menerima begitu saja.
Socrates, dengan keteguhan dialektiknya, percaya bahwa kebenaran tidak bisa diwariskan oleh kekuasaan atau mayoritas. Ia harus lahir dari dialog yang jujur, dari keberanian untuk bertanya dan mendengarkan. Bagi Plato, kebenaran berakar pada struktur metafisis dunia: sesuatu yang lebih tinggi dari persepsi manusia biasa.
Namun, filsafat tidak berhenti di ruang kelas. Hari-hari ini, kita menyaksikan pertarungan tentang kebenaran terjadi di panggung politik, media sosial, bahkan ruang laboratorium forensik.
Nama Roy Suryo kembali muncul ke publik, kali ini meragukan hasil uji forensik ijazah Presiden Jokowi yang dinyatakan asli oleh Bareskrim Polri. Menurut Roy dan koleganya, Rismon Sianipar, kebenaran itu belum sah karena mereka tidak melihat ijazah aslinya.
Rismon, yang mengaku menganalisis skripsi Jokowi hingga ke detail jenis font, menyimpulkan bahwa dokumen tersebut tidak mungkin berasal dari tahun 1985.
Baginya, fakta harus sesuai dengan jejak digital dan bukti teknologi pada masa itu. Jika tidak, maka sesuatu menjadi tidak benar. Ia bahkan menyatakan "100 miliar persen" skripsi itu palsu. Klaim yang bukan hanya berani, tetapi juga mencolok secara retoris.
Di sisi lain, Bareskrim Polri dan UGM menyatakan bahwa ijazah tersebut otentik dan identik dengan milik tiga rekan seangkatan Jokowi. Institusi negara telah bicara, namun sebagian orang memilih tidak percaya.
Lalu, kita kembali pada pertanyaan tadi: kebenaran milik siapa? Apakah ia milik lembaga resmi? Milik akademisi? Milik publik yang gaduh di dunia maya? Ataukah milik individu yang mengaku punya metode analisis lebih tajam dari alat negara?
Di era digital ini, kebenaran tampak semakin cair. Apa yang dianggap sah hari ini bisa dibantah esok hari dengan bukti baru—atau narasi baru. Fakta bukan lagi sekadar soal data, tetapi juga soal siapa yang menyampaikannya, di mana ia disampaikan, dan siapa yang mempercayainya.
Jika Descartes hidup hari ini, mungkin ia akan berkata: aku ragu karena aku berselancar di internet. Dan jika Socrates menonton YouTube, ia akan bertanya, "Apakah kamu benar-benar tahu, atau kamu hanya percaya karena banyak yang berkata begitu?"
Ini bukan tentang membela atau menggugat satu pihak. Ini tentang menyadari bahwa dalam dunia yang penuh suara dan klaim, kita harus lebih jujur pada satu hal: kebenaran tidak otomatis menjadi milik siapa pun. Ia harus diperjuangkan, diuji, dikritisi, bahkan disangkal—hingga akhirnya menemukan bentuk yang paling mendekati keadilan dan akal sehat.
Dan barangkali, dalam dunia yang retoris dan penuh citra seperti sekarang, kebenaran sejati bukan hanya soal isi, tapi juga soal niat. Maka, pertanyaan yang lebih dalam bukan lagi "Kebenaran milik siapa?" melainkan: siapa yang sungguh-sungguh mencari kebenaran itu?