Calon Tunggal di 38 daerah, tanda Kegagalan Parpol Calonkan Kader
- jogja.viva.co.id/ Fuska SE
Jogja, VIVA JOGJA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mendata 38 wilayah, yang terdiri diri 37 kabupaten/kota dan satu (1) provinsi yang melaksanakan Pilkada serentak 2024, hanya memiliki calon Tunggal, yang otomastis akan melawan kotak kosong.
Menanggapi hal tersebut pengamat politik UGM Dr Mada Sukmajati menyebut bahwa calon tunggal di 38 daerah sebenarnya bukanlah angka yang fantastis, sekilas terlihat lebih banyak ini disebabkan oleh pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Menurutnya, memang terjadi kenaikan jumlah pasangan calon (Paslon) tunggal di Pilkada. Pilkada tahun 2015 ada tiga calon tunggal. Angka ini kemudian naik jadi sembilan calon tunggal pada Pilkada 2017 dan 16 calon tunggal di Pilkada 2018. Kemudian, ada 25 daerah dengan calon tunggal pada Pemilu 2020.
“Bedanya, saat itu Pilkada diadakan secara bukan bergelombang sehingga Pilkada sebelumnya tidak dapat dibandingkan dengan Pilkada 2024 yang digelar serentak,” jelas Mada.
Meskipun angka tersebut tidak signifikan, namun perlu menjadi perhatian adalah konteks munculnya calon-calon unggal tersebut. Misalnya, adanya calon unggal di wilayah tambang dapat menjadi indikasi awal adanya persekongkolan mayoritas partai politik dan memungkinkan adanya dukungan bohir atau pemodal di balik paslon tersebut.
“Jika paslon tersebut terpilih, hal ini dapat berdampak pada munculnya kompensasi-kompensasi yang harus diberikan kepada bohir atau pemodal itu yang mungkin kaitannya dengan tambang atau dengan pengelolaan kekayaan alam di daerah itu. Daerah ini rentan korupsi politik seperti perizinan pertambangan yang dipermudah dan isu-isu keberlangsungan lingkungan, tata ungga sumber daya pertambangan di daerah itu dan seterusnya,” ucapnya.
Dampak kedua yang dihasilkan oleh Pilkada dengan paslon unggal ini adalah rawannya mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan paslon. Pria yang menjadi panelis pada Debat Pertama Pemilihan Presiden 2024 ini menyebut hal ini rawan terjadi pada daerah dengan calon unggal yang merupakan petahana. Menurutnya, politisasi birokrasi yang seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia sehingga prinsip-prinsip meritokrasi, profesionalisme, tata pengelola pemerintahan yang baik itu dipertaruhkan.
Kampanye Kotak Kosong