17 November Hari Orang Miskin Sedunia: Ini Hakikat Miskin dalam Ajaran Beberapa Agama
- VIVA Jogja/getty images
VIVA Jogja - Tanggal 17 November diperingati sebagai Hari Orang Miskin Sedunia atau World Day of the Poor.
Hari ini dicanangkan oleh Paus Fransiskus pada tahun 2017, dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang kemiskinan dan ketidaksetaraan sosial yang dialami oleh jutaan orang di seluruh dunia.
Selain itu, hari ini juga menjadi momen untuk mengajak masyarakat dan komunitas global untuk lebih peduli, memberikan bantuan, serta berupaya mengurangi ketimpangan sosial.
Tema setiap tahunnya biasanya berbeda-beda, tetapi umumnya berkaitan dengan pemberdayaan orang miskin, solidaritas, dan membangun dunia yang lebih adil.
Pada 2024, fokus perayaan ini juga bisa terkait dengan isu-isu ketidakadilan sosial, krisis ekonomi global, dan dampaknya terhadap orang-orang yang kurang beruntung.
Peringatan ini mengingatkan kita akan pentingnya mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan memperjuangkan hak asasi manusia bagi mereka yang terpinggirkan.
Selain itu, ini juga merupakan ajakan untuk lebih peduli terhadap sesama dan mengimplementasikan perubahan yang konkret dalam kehidupan sehari-hari. Berikut definisi dan hakikat miskin menurut ajaran beberapa agama:
1. Islam
Dalam ajaran Islam, kata "miskin" merujuk kepada orang yang berada dalam keadaan kekurangan atau kemiskinan, baik dari segi materi, harta, atau kebutuhan hidup lainnya.
Istilah ini sering disebut dalam konteks orang yang membutuhkan bantuan, namun secara spesifik dalam Islam, terdapat beberapa nuansa yang perlu dipahami.
Menurut ulama, miskin adalah orang yang memiliki penghasilan atau sumber daya yang terbatas, namun tidak sampai benar-benar kekurangan secara ekstrem seperti halnya orang yang disebut fakir. Perbedaan utama antara miskin dan fakir adalah:
Fakir: Orang yang sangat membutuhkan, bahkan tidak memiliki apa-apa untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Orang yang disebut fakir biasanya lebih memprihatinkan dalam kondisi sosial-ekonominya.
Miskin: Orang yang masih memiliki sesuatu, tapi pendapatannya atau harta yang dimilikinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar secara memadai. Miskin berada di antara fakir dan orang yang cukup atau kaya.
Pandangan Islam terhadap Miskin Dalam ajaran Islam, orang miskin dihormati dan diberikan hak-haknya.
Ada beberapa prinsip dan ajaran terkait orang miskin yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Hadis, antara lain:
Zakat: Islam memerintahkan umatnya untuk membayar zakat (sebuah bentuk kewajiban untuk memberikan sebagian harta kepada orang miskin dan yang membutuhkan).
Zakat ini digunakan untuk membantu orang-orang yang kurang mampu, termasuk orang miskin. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil zakat, yang mu’allaf (orang yang baru masuk Islam), untuk budak yang ingin memerdekakan dirinya, orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal)." (QS. At-Tawbah: 60)
Sedekah: Selain zakat, umat Islam juga dianjurkan untuk bersedekah (memberikan sebagian hartanya secara sukarela kepada yang membutuhkan). Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya memberi kepada orang miskin: "Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang menerima)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Islam mengajarkan untuk memperlakukan orang miskin dengan penuh penghormatan. Orang miskin juga memiliki hak untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari masyarakat.
Dalam banyak riwayat, Rasulullah SAW sangat memperhatikan kesejahteraan orang miskin dan mengingatkan umatnya untuk membantu mereka. "Sesungguhnya orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang yang membantu orang miskin." (HR. Tirmidzi)
Menjaga Kehormatan Orang Miskin: Miskin bukanlah alasan untuk merendahkan seseorang. Islam mengajarkan untuk tidak menghina orang miskin dan menjaga martabat mereka.
Nabi Muhammad SAW mengatakan: "Tidak ada seorang pun yang lebih baik di sisi Allah, kecuali yang paling bertakwa di antara kalian." (QS. Al-Hujurat: 13)
Kesederhanaan dalam Hidup: Islam juga mengajarkan pentingnya kesederhanaan. Seseorang tidak perlu merasa malu jika dalam keadaan miskin, karena kekayaan sejati terletak pada kekayaan hati dan ketaatan kepada Allah.
Dalam Al-Qur'an, Allah sering kali mengingatkan kita bahwa kekayaan dan kemewahan duniawi bukanlah ukuran kebahagiaan sejati. Sebaliknya, kebahagiaan yang hakiki adalah kedekatan dengan Allah, ketulusan hati, dan kemampuan untuk bersyukur dalam setiap keadaan, baik dalam kelapangan maupun kesempitan.
Dalam hadis Rasulullah SAW, misalnya, terdapat sabda yang mengatakan bahwa orang yang miskin di dunia, jika ia sabar dan bersyukur, akan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah.
Bahkan, ada hadits yang menyebutkan bahwa orang yang miskin dalam agama (dalam arti rendah hati dan tidak sombong) memiliki kedudukan yang sangat mulia di akhirat.
2. Kristen Protestan
Dalam ajaran Kristen, istilah "miskin" sering kali digunakan dalam berbagai konteks, baik secara fisik, emosional, maupun spiritual.
Secara umum, ada dua pengertian utama terkait konsep kemiskinan dalam ajaran Kristen:
1. Kemiskinan Materi (Fisikal)
Kemiskinan dalam hal materi atau kekurangan harta benda adalah salah satu kondisi yang disebutkan dalam Alkitab.
Banyak ayat yang berbicara tentang orang miskin, dan dalam banyak kasus, ajaran Kristen mengajarkan pentingnya memberi perhatian kepada orang miskin. Ini bisa dilihat dalam ajaran Yesus dan tulisan-tulisan para rasul.
Yesus dan Kemiskinan: Yesus sering berbicara tentang kemiskinan dalam pengertian sosial dan ekonomi. Salah satu contoh yang terkenal adalah dalam Matius 5:3, di mana Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan surga."
Ayat ini sering dipahami sebagai pernyataan bahwa orang miskin (baik secara materi maupun dalam pengertian kerendahan hati) memiliki tempat khusus dalam Kerajaan Allah.
Ajaran untuk Membantu Orang Miskin: Dalam banyak bagian Alkitab, orang Kristen diajarkan untuk peduli dan membantu mereka yang miskin. Salah satu contoh penting adalah dalam Matius 25:35-40, di mana Yesus mengajarkan bahwa memberi makan orang lapar, memberi minum orang haus, dan memberi pakaian kepada orang telanjang adalah hal yang dilakukan kepada-Nya sendiri.
2. Kemiskinan Spiritual
Kemiskinan dalam konteks spiritual berarti kerendahan hati, pengakuan atas ketidakmampuan diri untuk mencapai keselamatan atau kebenaran tanpa pertolongan Tuhan.
Dalam Matius 5:3, yang menjadi bagian dari Khotbah di Bukit, Yesus berkata, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan surga."
Ayat ini mengajarkan bahwa seseorang yang menyadari keterbatasan dan kerentanannya di hadapan Tuhan, yang tidak mengandalkan kekuatan atau kekayaan duniawi, akan menerima berkat Kerajaan Surga.
Kemiskinan spiritual juga dapat diartikan sebagai kesadaran akan dosa dan kebutuhan untuk bertobat. Orang yang miskin rohani adalah mereka yang merasa membutuhkan Tuhan, yang mengakui ketergantungan sepenuhnya pada kasih karunia-Nya untuk memperoleh keselamatan.
Di dalam Injil, khususnya dalam Khotbah di Bukit (Matius 5:3), Yesus mengajarkan, "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Allah."
Maksud dari pernyataan ini adalah bahwa mereka yang rendah hati dan tidak bergantung pada kekayaan atau status duniawi akan diberkati oleh Allah. Dalam konteks ini, "miskin di hadapan Allah" tidak selalu berarti kemiskinan materi, melainkan lebih kepada sikap hati yang rendah diri, mengakui ketergantungan sepenuhnya pada Allah, dan tidak sombong atau angkuh dengan kekayaan atau prestasi duniawi.
Orang yang miskin di hadapan Allah memiliki sikap yang lebih terbuka untuk menerima rahmat-Nya, karena mereka menyadari bahwa mereka memerlukan pertolongan dan kasih karunia-Nya.
Hal ini juga dapat dilihat sebagai ajakan untuk tidak mengejar kekayaan duniawi sebagai tujuan utama, melainkan fokus pada kekayaan rohani yang membawa kepada hidup yang kekal di dalam Kerajaan Allah.
3. Katolik
Dalam ajaran Katolik, istilah "miskin" atau "kemiskinan" memiliki makna yang lebih dalam daripada sekadar kondisi kekurangan harta atau material.
Terdapat dua dimensi utama dalam ajaran Katolik terkait dengan kemiskinan:
Kemiskinan dalam Pengertian Spiritual:
Dalam konteks ini, "miskin" merujuk pada sikap hati yang rendah hati dan tidak terikat oleh kekayaan materi. Salah satu pengajaran utama dalam ajaran Katolik adalah bahwa kekayaan bisa menjadi hambatan dalam hubungan dengan Tuhan.
Yesus mengajarkan dalam Injil bahwa orang yang miskin "di hadapan Allah" (misalnya dalam Khotbah di Bukit, Matius 5:3 - "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena mereka yang punya Kerajaan Surga.").
Kemiskinan spiritual ini berarti sikap ketergantungan penuh kepada Tuhan dan menghindari ketergantungan pada harta duniawi. Seorang yang miskin dalam pengertian ini berusaha untuk hidup sederhana, tidak serakah, dan menaruh kepercayaan penuh kepada Tuhan dalam segala keadaan.
Kemiskinan Material dan Kepedulian Sosial: Gereja Katolik juga mengajarkan pentingnya solidaritas dengan orang miskin secara material.
Miskin dalam pengertian ini adalah mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang kekurangan kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan akses ke pelayanan kesehatan.
Gereja mengajak umatnya untuk peduli terhadap mereka yang berada dalam situasi ini dan untuk berbagi berkat materi yang mereka miliki. Hal ini tercermin dalam ajaran Gereja tentang kasih terhadap sesama, yang digarisbawahi dalam Perintah Kasih Yesus: "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (Matius 22:39).
Gereja mengajarkan bahwa mereka yang berlimpah harus membantu yang membutuhkan, dan ini adalah panggilan moral bagi umat Katolik untuk terlibat dalam amal sosial dan keadilan.
Secara keseluruhan, kemiskinan dalam ajaran Katolik lebih dari sekadar keadaan ekonomi. Itu adalah panggilan untuk hidup dengan kesederhanaan, mengutamakan nilai-nilai spiritual, dan menolong mereka yang membutuhkan.
Kemiskinan juga menjadi bagian dari teladan hidup Yesus, yang meskipun Dia adalah Anak Allah, memilih untuk hidup sederhana dan mengutamakan pelayanan kepada orang miskin dan yang terpinggirkan.
4. Buddha
Dalam ajaran Buddha, istilah "miskin" tidak merujuk secara spesifik pada keadaan fisik atau materi seseorang, melainkan lebih pada kondisi batin, terutama dalam hal kepemilikan dan kemelekatan terhadap hal-hal duniawi.
Secara umum, Buddha mengajarkan tentang ketidakterikatan terhadap kekayaan, harta, dan status sosial. Beliau mengajarkan bahwa kesenangan duniawi, termasuk kekayaan dan kemewahan, tidak akan membawa kebahagiaan sejati atau pencerahan, karena semua itu bersifat sementara dan dapat menyebabkan penderitaan (dukkha).
Buddha mengajarkan empat kebenaran mulia yang terdiri dari:
Dukkha – Penderitaan itu ada, dan merupakan bagian dari kehidupan.
Samudaya – Penderitaan muncul karena keterikatan (tanha), hasrat, dan keinginan terhadap materi dan dunia.
Nirodha – Penderitaan bisa dihentikan dengan mengatasi keterikatan dan keinginan.
Magga – Ada jalan menuju akhir penderitaan, yaitu melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan.
Dalam konteks ini, kemiskinan dalam ajaran Buddha bisa diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melepaskan keterikatan pada harta benda atau duniawi, yang pada gilirannya menyebabkan penderitaan.
Sebaliknya, seseorang yang tidak terikat pada harta benda, meskipun mungkin hidup sederhana, dapat mencapai kedamaian batin yang lebih besar dan bebas dari penderitaan.
Selain itu, kehidupan yang sederhana dan tidak berlebihan dalam hal harta benda sering kali dianjurkan dalam ajaran Buddha, seperti yang terlihat pada praktik para bhikkhu (biksu) yang hidup dengan cara mengandalkan sedekah dan menjauhkan diri dari kemewahan.
Jadi, dalam perspektif Buddha, miskin tidak selalu terkait dengan kekurangan materi, tetapi lebih pada bagaimana seseorang memahami dan mengatasi ketergantungannya pada hal-hal duniawi, serta bagaimana ia menjaga keseimbangan batin.
5. Hindu
Dalam ajaran Hindu, kata "miskin" tidak memiliki makna yang spesifik atau langsung seperti dalam bahasa Indonesia yang biasa merujuk pada seseorang yang tidak memiliki banyak harta atau berada dalam keadaan kekurangan materi.
Namun, dalam konteks ajaran Hindu, ada beberapa konsep yang berhubungan dengan kondisi kemiskinan atau ketidakberuntungan, meskipun bukan dengan istilah "miskin" secara langsung.
Beberapa konsep yang dapat terkait dengan makna kemiskinan atau kekurangan dalam ajaran Hindu adalah:
1. Duhkha (Duka)
Dalam ajaran Hindu, terutama dalam ajaran Buddhism (yang berasal dari akar ajaran Hindu), konsep duhkha atau duka merujuk pada penderitaan, ketidakbahagiaan, atau keadaan tidak puas yang dialami oleh makhluk hidup. Ini mencakup segala jenis penderitaan, termasuk penderitaan fisik, mental, sosial, dan bahkan penderitaan karena kemiskinan atau ketidakmampuan finansial.
Duhkha adalah bagian dari Empat Kebenaran Mulia dalam ajaran Buddha, yang juga terkait dengan ajaran Hindu mengenai karma dan reinkarnasi. Dalam konteks ini, seseorang yang berada dalam keadaan miskin mungkin dianggap sedang mengalami salah satu bentuk duhkha.
2. Karma
Konsep karma dalam Hindu menyatakan bahwa tindakan (baik atau buruk) seseorang dalam kehidupan sebelumnya mempengaruhi kondisi kehidupan mereka sekarang, termasuk dalam hal materi dan sosial. Kemiskinan dalam kehidupan saat ini bisa dipahami sebagai akibat dari karma buruk di kehidupan sebelumnya.
Namun, ajaran Hindu juga mengajarkan bahwa seseorang masih bisa memperbaiki nasibnya melalui tindakan baik (punya), perbuatan yang penuh kasih, dan spiritualitas.
3. Samsara dan Moksha
Dalam siklus samsara (kelahiran kembali), seseorang yang berada dalam keadaan miskin mungkin dianggap sedang menjalani karma dari kehidupan lampau. Namun, tujuannya dalam ajaran Hindu adalah untuk mencapai moksha—pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian, yang membawa kebahagiaan abadi dan tidak tergantung pada keadaan duniawi.
4. Bhakti dan Pengabdian
Dalam tradisi bhakti (pengabdian kepada Tuhan), seorang individu yang miskin atau tidak memiliki banyak harta tetap dipandang dengan kasih sayang, karena kedekatannya dengan Tuhan bukan ditentukan oleh status sosial atau kekayaan materi.
Banyak teks suci Hindu mengajarkan bahwa pengabdian hati yang tulus lebih penting daripada apa yang dimiliki seseorang.
5. Renunciasi (Sannyasa)
Konsep sannyasa dalam ajaran Hindu adalah kehidupan sebagai seorang pertapa atau orang yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk fokus pada pencapaian spiritual.
Dalam hal ini, miskin dalam hal materi bisa dipandang sebagai bentuk pengendalian diri dan penyerahan diri kepada Tuhan, memilih kehidupan yang sederhana untuk mendekatkan diri kepada kebenaran tertinggi.
Meskipun demikian, ajaran Hindu juga mengajarkan pentingnya keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kehidupan spiritual.
Seseorang tidak diharuskan untuk hidup dalam kemiskinan, tetapi harus memahami bahwa kekayaan materi bukanlah tujuan utama hidup, melainkan pencapaian spiritual dan kebajikan.
6. Konghucu
Dalam ajaran Konghucu (Konfusianisme), miskin atau kemiskinan tidak dianggap sebagai suatu dosa atau kesalahan moral, namun ia sering kali dikaitkan dengan kesulitan atau kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Konfusianisme menekankan pentingnya keseimbangan, harmoni sosial, dan pemeliharaan moralitas dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Konghucu sendiri mengajarkan bahwa kehidupan yang baik adalah kehidupan yang penuh dengan kebajikan, seperti kebaikan hati (ren), ketulusan, kehormatan, dan keadilan.
Dalam konteks ini, kemiskinan bisa jadi merupakan ujian atau tantangan yang mempengaruhi seseorang dalam menjalani kehidupan moralnya.
Dalam ajaran Konfusianisme, seseorang yang miskin tetap harus berusaha untuk menjalani hidup dengan kesopanan, kehormatan, dan integritas. Terkait dengan keluarga, Konghucu juga mengajarkan pentingnya menjaga keharmonisan dalam keluarga sebagai salah satu pilar utama dalam kehidupan yang benar.
Seorang anak yang miskin atau berasal dari keluarga miskin tetap harus menunjukkan rasa hormat dan bakti kepada orang tua (filial piety atau xiao). Namun, Konfusianisme juga mengajarkan para pemimpin (terutama penguasa) untuk memiliki tanggung jawab moral untuk memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, termasuk yang miskin.
Dalam pemikiran Konfusianisme, kesejahteraan rakyat merupakan salah satu ukuran keberhasilan pemerintahan yang baik. Pemerintah yang bijak harus berupaya mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Secara keseluruhan, meskipun kemiskinan bukanlah sesuatu yang diinginkan, ajaran Konghucu lebih menekankan pada cara seseorang menghadapinya dengan moralitas dan kebajikan.