Harga Kopi Dunia Ugal-ugalan, Produksi Kopi Muria Kudus Melorot Tajam

Hasil panen kopi Robusta petani Desa Colo, Kecamatan Dawe Kudus.
Sumber :
  • arif

 

Hijaukan Alam Pegunungan Muria, Cara PWI Kudus Rayakan HPN 2025

 

KUDUS, VIVAJogja-  Di tengah terus melambungnya harga kopi di tingkat dunia, namun ketersediaan biji kopi juga sulit didapatkan. Karena itu, melonjaknya harga belum dirasakan sepenuhnya bagi kesejahteraan para petani kopi di lereng Pegunungan Muria Kabupaten Kudus.

FEB Universitas Muria Kudus Gugah Kontribusi Alumni, Demi Cetak Lulusan Berkualitas

Bahkan  petani kopi jenis Robusta di lereng Gunung Muria tahun ini mengalami penurunan  drastis hingga 40 persen. Tahun lalu, produksi kopi petani Muria mencapai 20 ton. Namun tahun ini hanya mampu memproduksi 8 ton.

Kondisi penurunan produksi kopi, diungkapkan Teguh Budi Wiyono, petani kopi Robusta asal Desa Colo, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, saat ditemui Rabu (11/2/2025).

Seniman Pulau Jawa Tertarik Eksplorasi Jejak Sejarah Peradaban Muria di Kudus

“Penurunan produksi kopi Robusta Muria ini cukup berimbas pada petani Desa Colo. Hasil panen tahun lalu, gudang kami bisa menampung 20 ton biji kopi. Namun tahun ini hanya menampung 8 ton saja,” ujar Teguh yang juga pengelola Goedang Kopi Muria.

Sebanyak 8 ton biji kopi Robusta itu, kata Teguh, hasil dari setoran panen 63 petani di Desa Colo dan Desa Japan. Penurunan hasil panen kopi di Gunung Muria akibat cuaca ekstrem.

"Kondisi cuaca sangat berpengaruh. Sebab pada tahun 2023 lalu saat memasuki panen bersamaan musim kemarau yang lebih panjang, membuat produksi kopi di Pegunungan Muria melimpah," ucap Teguh.

Teguh menyebut selama ini hasil panen dari petani kopi Muria hanya dijual sistem ijon atau green been. Untuk pembelian biji kopi petik merah, hanya dilakukan beberapa petani saja.

Kini para petani kopi di kawasan Muria pun mengantisipasi kerugian petani yang  lebih besar. Yakni harus ekstra memutar otak untuk mencari solusinya.

“Kopi tidak hanya diolah dalam bentuk panen mentah green been saja. Namun diolah menjadi roasted been atau sangrai dan dalam bentuk kemasan untuk menaikkan harga jual,” ungkapnya.

Dengan promosi yang lebih menarik, imbuh Teguh, tentu kopi Robusta khas Pegunungan Muria akan lebih laku di pasaran. Sebab saat ini, masih banyak petani kopi yang menjualnya dengan sistem ijon dengan harga yang murah.

Teguh pun mengajak para petani kopi di Muria untuk naik kelas. Yakni  menjual kopi dalam kemasan. Sehingga upaya itu bisa memangkas kerugian biaya operasional dan menambah nilai keuntungan bagi petani kopi.

Terlebih, saat ini kopi jenis Arabika juga mulai dikembangkan di Desa Colo. Dia menyebut, kopi arabica bisa ditanam di Lereng Muria dengan ketinggian minimal 1.000 meter di atas permukaan air laut (mpdl).

“Kami berharap pengembangan produksi dan promosi itu bisa mendorong kopi Muria lebih mendunia. Harga kopi saat ini memang naik 70 ribu per kilogram dari tahun lalu, namun modalnya tetap naik sehingga perlu diolah," terang Teguh.

Dengan promosi dan kemasan menarik, kopi Muria lebih laku dipasaran.

Photo :
  • arif

 

Pasokan Langka dan Cuaca Ekstrim

Untuk diketahui, salah satu faktor utama mendorong naiknya harga kopi adalah gangguan pada sisi pasokan. Cuaca ekstrem menghantam sejumlah negara produsen utama komoditas kopi.

Brasil yang menguasai sekitar 40% pasar kopi global, mengalami cuaca kering berkepanjangan, disusul hujan deras yang merusak tanaman. Hal ini memperburuk efek dari frost tahun lalu yang telah memangkas produksi.

Sementara itu, Vietnam, produsen robusta terbesar dunia, melaporkan hasil panen yang lebih rendah akibat badai yang melanda pada akhir 2024. Produksi kopi robusta Vietnam bahkan diprediksi turun hingga 10%, menjadikannya salah satu hasil terendah dalam satu dekade.

Di Amerika Tengah, dampak badai tropis juga terasa di beberapa negara produsen seperti Kosta Rika, yang kehilangan sekitar 15% dari total produksi tahunannya akibat banjir dan tanah longsor.

Peristiwa ini tidak hanya mengurangi jumlah kopi yang masuk ke pasar global, tetapi juga mengacaukan rantai pasok karena banyak pabrik pengolahan dan eksportir terdampak.

Dengan kenaikan harga kopi yang signifikan, tidak heran jika harga segelas espresso atau kopi seduh di kafe-kafe juga ikut naik. Beberapa jaringan kafe besar mulai menyesuaikan harga menu mereka untuk mengimbangi lonjakan biaya bahan baku.

Di sisi lain, para petani kecil di negara produsen belum tentu merasakan manfaat dari kenaikan harga ini, karena mereka masih bergulat dengan biaya produksi yang meningkat akibat inflasi dan gangguan cuaca.