Denda Damai Atasi Stagnasi Penanganan Korupsi, Komjak RI : Buat Jera dan Malu Koruptor dengan Kerja Sosial
- Ist/VIVA Jogja
SOLO, VIVA Jogja - Korupsi masih subur di Indonesia, meskipun berkali-kali ada yang ditangkap tetapi belum berhenti.
Sehingga perlu cara lain di antaranya melalui wacana denda damai bagi koruptor dengan payung hukum yang kuat.
"Korupsi itu extraordinary crime. Hasilnya pemberantasan stagnan di situ. Tidak mengecil. Politisi kena korupsi, besok ada lagi. Begitu juga bankir ditangkap ada lagi. Tidak tobat. Artinya penghukuman badan tak jera. Harus ada another way," kata Ketua Komisi Kejaksaan RI, Prof. Dr. Pujiyono Suwadi, S.H., M.H, Kamis (9/1/2025).
Itu disampaikan dalam Diskusi Bareng bertema 'Denda Damai untuk Koruptor, Apakah Bisa dan Layak?' yang digelar lembaga Jarcomm (Jejaring Analiytics, Research and Communication Consulting) melalui Webinar.
Pujiyono menerangkan, jika jangan salah kaprah dalam menerjemahkan denda damai. Di mana denda damai bukan berarti koruptor langsung diminta bayar, terus dianggap selesai. Tidak demikian konsepnya.
"Maka denda pengampunan sebagai cara untuk mengatasi stagnasi penanganan korupsi merupakan ide baik. Tapi kita tidak boleh terjebak pada denda saja. Jangan berhenti gagasannya. Ada terobosan jalan," kata Pujiyono.
Dia menlanjutkan, maka denda damai harus punya landasan hukum yang kuat. Di antaranya selama ini familiar dengan restoratif justice, sebagai formula untuk mencari keadilan yang biasanya dilakukan dalam kejahatan tindak pidana umum.