Perkuat Riset dan Inovasi, Kampus Bukan Pelaku Bisnis Pertambangan

Gedung Pusat UGM
Sumber :
  • VIVA Jogja/UGM

Di kesempatan terpisah, Zulfatun Mahmudah, Anggota Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Kutai Timur,  memastikan kampus akan melakukan blunder besar jika bila nekad tetap ingin mengelola tambang. Dia mengungkapkan tiga alasan kampus sulit mengelola tambang dikarenakan minimnya kemampuan finansial, kapasitas operasional penambangan termasuk menghadapi tantangan persoalan sosial dan lingkungan.

PBTY XX bagian dari Membentuk Karakter Bangsa

Menurut, sektor pertambangan membutuhkan modal awal yang sangat besar untuk melakukan eksplorasi dan ekstraktif. Meliputi jaminan  reklamasi  yang  harus  disetor  dalam  waktu 30 hari setelah dokumen rencana reklamasi diserahkan. Pendanaan berikutnya untuk eksplorasi yang mencakup pemetaan lokasi, penentuan kualitas dan deposit batu bara, serta analisis dampak lingkungan yang juga membutuhkan dana besar.

Jika dua tahapan itu terpenuhi, tidak serta merta bisa segera menambang lalu meraup untung. Perusahaan tambang harus mengeluarkan biaya lagi untuk konstruksi yaitu pembangunan fasilitas pengolahan seperti crusher dan coal processing plant, pembuatan jalur pengangkutan (hauling road) yang bisa sangat mahal jika lokasi tambang jauh dari jalur distribusi.

Kontes dan Pameran Batu Permata Nusantara bukti Pesonanya Tak Pernah Pudar

“Biaya   kontruksi  ini  termasuk  pembangunan  perkantoran  dan  perumahan karyawan karena tambang biasanya berada di daerah terpencil. Bisa dibayangkan, modal awal sebelum menambang sudah sangat mahal. ini belum menambang. Sebagai gambaran, PT Kaltim Prima Coal menghabiskan 570 juta USD dalam tahap konstruksi awalnya, atau sekitar 10 triliun rupiah dengan kurs saat ini,” kata Zulfatun.

Biaya besar berikutnya, menurutnya, untuk operasional dan keselamatan tambang. Meskipun menghasilkan keuntungan, perusahaan tambang harus mengeluarkan lagi biaya pajak dan royalti. “Kita harus tahu royalti ekspor lebih tinggi dibanding domestik. Ini belum termasuk sharing profit ke pusat dan daerah, bahkan wajib mengalokasikan duit untuk CSR dan tanggung jawab sosial”, ungkapnya.

Wamen Stella Ingin Hilangkan Stigma 'Kelas Dua' Pendidikan Vokasi

Zulfatun menyebut hanya dua pilihan pendanaan yaitu melibatkan pihak ketiga. Artinya hal ini bisa dilakukan dengan memberikan hak konsesi ke investor, dan kampus menerima fee namun hilang kendali penuh atas tambang. Bisa pula kampus mencari pinjaman dana, yang berarti harus ada aset sebagai jaminan. “Pilihan pertama, berarti kampus menjadi broker. Atau pilihan kedua, ada risiko break-even point (BEP) dalam industri tambang sangat panjang, dan ada risiko kerugian akibat fluktuasi harga batu bara, misalnya,” katanya.

Selain itu, kampus juga berhadapan dengan risiko yang lain yaitu kehancuran reputasi. Kampus bisa dinilai tidak   independen karena   tersandera   kepentingan  bisnis. “Kampus  akan  kehilangan kredibilitas akademik akibat konflik kepentingan. Kampus bisa dianggap menyimpang dari tujuan awalnya sebagai institusi pendidikan dan penelitian”, terangnya.

Halaman Selanjutnya
img_title