Akui Ada Perundungan dalam Kasus dr Aulia Risma Lestari, Dekan FK Undip: Tiga Mahasiswa Dipecat
- VIVA Jogja/Twitter
Jogja, VIVA Jogja - Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) dr Yan Wisnu Prajoko mengakui ada kekerasan atau bullying (perundungan) terjadi di kampusnya.
Selama rentang tahun 2021-2023, kata dia, ada 3 mahasiswa dikeluarkan akibat melakukan perundungan. Sedangkan belasan mahasiswa lainnya terkena sanksi skorsing maupun teguran.
"Kasus itu tidak hanya prodi anestesi saja tapi macam-macam prodi," paparnya, dalam konferensi pers di Gedung A Fakultas Kedokteran Undip Semarang, Jumat 13 September 2024.
Yan menegaskan jika pelaku perundungan terhadap dr Aulia Risma Lestari terungkap, pihaknya akan memberi sanksi tegas.
Namun, pihaknya tetap berpatokan kepada Intruksi Menteri yang mengatur perundungan. "Ada sanski ringan, sedang , berat sampai dikeluarkan itu ada nanti tinggal melihat kesalahannya," terangnya.
Dia pun mengakui juga adanya praktik perundungan yang menimpa para mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi.
Praktik-praktik perundungan ternyata telah terjadi secara sistematik dan kultural. Perundungan dilakukan secara fisik maupun melalui sistem jam kerja hingga adanya kewajiban iuran.
"Kalau perundungan fisik tidak terlalu banyak. Lebih banyak terkait perundungan jam kerja dan iuran," kata Yan.
Yan mengatakan, perundungan melalui beban jam kerja bisa terjadi karena bagian anestesi melekat dengan semua layanan operasi di rumah sakit.
PPDS anestesi juga tak hanya melayani di bagian ruangan ICU tapi melayani di titik-titik layanan lainnya.
Artinya, PPDS anestesi lebih berat dibandingkan PPDS lain secara beban kerja.
"Seharusnya dari 84 mahasiswa (PPDS) dengan 20 dokter di rumah sakit (RSUP Kariadi) kalau tidak bisa membagi, ini perlu pendalaman. Semestinya kalau beban kerja besar dengan SDM-nya juga besar, maka potensi (kerja overtime) seperti ini tidak muncul," jelasnya.
Beban kerja berat yang dialami mahasiswa PPDS Anestesi sempat dikeluhkan dr Aulia Risma melalui ibunya, Nuzmatun Malinah (57).
Nuzmatun lalu menyampaikan keluhan anaknya ke kepala prodi (kaprodi) Anestesi Undip. Namun, menurut pihak keluarga, aduan itu tidak direspon.
Yan menyebut tidak mengetahui persis aduan tersebut. Dia baru menjadi Dekan FK Undip pada 15 Januari 2024.
Keluhan almarhumah soal jam kerja, menurut dia, sepenuhnya mengikuti sistem pelayanan rumah sakit karena sebagai mahasiswi PPDS sedang praktik di rumah sakit.
"Saya tidak tahu persis hal tersebut," ungkapnya.
Soal budaya perundungan, dokter Onkologi ini mengklaim sebenarnya sudah berusaha untuk menghentikan melalui surat edaran yang dikeluarkannya pada 25 Maret 2024.
Ada tiga poin yang diatur dalam surat meliputi mitigasi potensi perundungan, kewaspadaan para pejabat kampus terhadap perundungan, dan kewajiban perizinam ketika memobilisasi mahasiswa PPDS.
"Jadi sebetulnya saya itu ingin mengendalikan potensi-potensi perundungan," dalihnya.
Pihaknya meminta maaf kepada masyarakat terkait dalam menjalankan proses pendidikan, khususnya kedokteran spesialis.
Yan berjanji bakal melakukan perbaikan dalam proses pendidikan, khususnya dokter spesialis.
"Kami mohon dukungan dari pemerintah dan masyarakat untuk kami dapat melanjutkan proses pendidikan kedokteran spesialis di fakultas kedokteran Universitas Diponegoro, khususnya saat ini adalah program studi anestesi dan perawatan intensif," terangnya.
Dampak dari penghentian praktik PPDS prodi anestesi Undip di RSUP Kariadi membuat sistem distribusi mahasiswa menjadi kacau. Oleh karena itu, Yan berharap penghentian sementara prodi anestesi di RSUP Kariadi dapat dibuka kembali.
Sebab, RSUP Kariadi menjadi rumah sakit penampung PPDS terbesar disusul Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND), dan RSUD Jepara. Selain distribusi mahasiswa, proses belajar mengajar para mahasiswa juga terganggu. Sepatutnya mahasiswa PPDS mayoritas praktik di rumah sakit baik di poli, klinik dan kamar operasi yang bisa mencapai 90 persen. Sisanya, hanya teori.
"Kami sebulan ini melakukan pengayaan teoritik di kampus sambil berharap proses pendidikan akan normal kembali. Sebenarnya itu bukan porsi pendidikan mereka," ungkapnya.
Kuasa Hukum Kairul Anwar mempertanyakan layanan operasi selama 24 jam di RSUP Kariadi yang berdampak bagi mahasiswa PPDS.
"Program operasi 24 jam itu siapa yang punya program? itu harus dijelaskan. Mudah-mudahan dari RSUP Kariadi mau menjelaskan secara adil," ujar Kairul.
Di samping itu, Kairul menyinggung soal jalannya kasus PPDS di Kepolisian dengan adanya dua laporan. Satu laporan diproses di Polrestabes Semarang terkait penyebab meninggalnya almarhum karena sakit atau bunuh diri.
Satu laporan lainnya terkait perbuatan tindak menyenangkan, penghinaan dan pemerasan masih berjalan di Polda Jateng.
"Pengaduan (Aulia Risma) masuk ke Polda Jateng tanggal 4 September. Besoknya tanggal 5 September ada pemanggilan dari polda untuk mahasiswa PPDS.
Rektor memerintahkan mereka untuk hadir jangan ditunda untuk membuat terang masalah ini dan ada kepastian hukum," bebernya.
Sementara Direktur Operasional RSUP Kariadi Semarang Mahabara Yang Putra atau dr Abba mengatakan, berkaitan jadwal mahasiswa PPDS untuk melayani pasien dikeluarkan oleh rumah sakit.
Sebaliknya untuk pendidikan kewenangan dari Fakultas Kesehatan Undip. "Layanan operasi 24 jam itu tidak ada. Pelayanan 24 jam itu untuk kegawatdaruratan. Hanya ada kalau kondisi gawat darurat, (petugas) yang melayani 24 jam," katanya.