Dosen UGM Rachma Wikandari Raih Penghargaan L’Oreal - UNESCO For Women in Science
- Humas UGM
JVIVA ogja – Dosen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogyakarta, Rachma Wikandari, mendapatkan penghargaan serta hibah dana penelitian senilai Rp 100 juta dari L’Oreal - UNESCO For Women in Science 2024. Penghargaan ini diberikan bersama empat peneliti perempuan dari berbagai institusi pada 11 November lalu di Jakarta.
Wikandari meraih penghargaan untuk kategori life-science dengan penelitiannya mengenai meat analogue dari jamur tempe. Untuk mengikuti tahapan seleksi L’Oreal - UNESCO For Women in Science, Wikandari mengirimkan proposal hasil riset dan karya yang telah dikumpulkan. Menurutnya, terdapat sejumlah 100 proposal yang masuk, tetapi hanya sejumlah 10 proposal yang lolos seleksi. “Dari 10 proposal itu, kami diminta melakukan presentasi di depan dewan juri untuk memilih 4 kandidat terbaik,” ujar Wikandari, Jumat (22/110 di kampus UGM.
Wikandari mengaku bersyukur mendapat penghargaan serta dana hibah penelitian terkait risetnya dalam pengembangan Protein Alternatif Daging Tiruan dari Jamur Tempe. Ia menuturkan bahwa bermacam-macam daging tiruan dapat dibuat menggunakan jamur tempe tersebut. “Riset saya tentang jamur tempenya saja, tanpa kedelai, bisa jadi sumber protein yang sangat baik,” ujarnya.
Penelitiannya berkutat pada peningkatan kandungan mineral dari mikroprotein yang terdapat pada jamur tempe. Selain menjadi alternatif protein, jamur tempe sendiri memiliki kandungan gizi yang tidak jauh berbeda dengan nutrisi pada daging. Jamur tempe memiliki kandungan protein sebesar 19 persen, selisih 2 persen dari kandungan protein pada daging. Selain itu, jamur tempe juga memiliki asam amino esensial yang lebih lengkap daripada sumber protein nabati lain. Kandungan serat pada jamur tempe juga dinilai lebih tinggi daripada daging sehingga olahan ini baik untuk kesehatan saluran pencernaan.
Proses pembuatan jamur tempe pun dianggap lebih ramah lingkungan dan efisien daripada sumber protein lain, baik hewani maupun nabati. Jamur tempe dapat dipanen dalam waktu dua hari di dalam reaktor atau reaktor. Bahkan, Wikandari memanfaatkan air sisa rebusan kedelai untuk menumbuhkan jamur tersebut. Dengan langkah ini, ia sekaligus mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah industri makanan. “Kalau bisa, kita menghasilkan protein yang menggunakan sumber daya alam paling minimal; menggunakan sedikit air, sedikit lahan, dan bisa tumbuh dengan cepat,” ujar Wikandari.
Wikandari tidak sendirian dalam upayanya mengembangkan jamur tempe. Ia bekerja sama dengan universitas dan institusi lokal dan luar negeri untuk dapat memberikan hasil terbaik. Di antaranya adalah Universitas Lampung; Universitas Boras, Swedia; dan Universitas de Minho, Portugal. Wikandari juga menggandeng usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) produksi tempe untuk melakukan riset menggunakan limbah rebusan kedelai.
Ide jamur tempe ini tentu tidak muncul dalam waktu semalam. Wikandari mengaku bahwa penelitian ini sudah memakan waktu yang cukup lama, yaitu 4 tahun. Bahkan, ia telah merumuskan ide ini sejak tahun 2011. “Saya mengutak-atik jamur tempe sudah 13 tahun, tapi kalau jamur tempe yang dijadikan daging tiruan, baru sejak tahun 2020,” tutur Wikandari.
Berkat penghargaan ini, Wikandari berharap mikroprotein dari jamur tempe bisa lebih dikenal oleh masyarakat, baik produsen maupun konsumen. Ketika masyarakat sudah mulai mengenal jamur tempe, diharapkan produsen bisa mendukung komersialisasi produk mikroproteinnya. “Harapannya, jamur tempe ini bisa hadir di masyarakat sebagai alternatif protein yang bergizi, murah, dan berkelanjutan,” terang Wikandari. *