Kota Yogya Butuh Pemimpin dengan Mapping Baru
- Jogja.viva.co.id/Fuska SE
Jogja, VIVA-Jogja – Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Yogyakarta kembali disorot terkait dengan azas keseimbangan kota sebagai wilayah tujuan wisata.
Berdasar pernyataan pengamat kebijakan publik Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, Arif Kurnia Rahman menyatakan, jika berbicara soal rokok, identik dan selalu dikaitkan dengan isu kesehatan, dan terkesan kalau komoditas tembakau dan turunannya harus dijauhi. "Banyak aturan yang membatasi, termasuk Peraturan Kememkes sehingga menggerus lahan jual, sekaligus berimbas ke nasib petani," katanya dalam acara ‘Dialog Bersama Wawan Hermawan' yang diadakan di Omah Putih, Kota Yogyakarta, Jumat (18/10/2024).
Dikatakan 45 persen (%) Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Yogya berasal dari pajak hotel dan restoran. Namun regulasi kawasan tanpa rokok (KTR) dipandang tidak berpihak pada penyelenggaraan wisata.
“Hotel juga harus menerapkan kawasan tanpa rokok dan memiliki ruang rokok yang terpisah. Bagi hotel besar mungkiin tidak masalah, tapi bagi hotel kecil jadi masalah. Kita harapkan kebijakan KTR perlu diharmoniaasi, tidak sekadar framing kesehatan, tapi isu lain yang melingkupinya, misal soal budaya, kesejahteraan,” katanya.
Lebih jauh dikatakan Arif, setiap kebijakan harusnya seimbang, atau tetap berpijak pada isu ketenagaan kerja, industri, pertanian dan juga dunia kreatifitas.
Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PD FSP RTMM-SPSI) DI Yogyakarta mencatat sebanyak 5.250 bekerja di sektor pabrik rokok. Saat ini, keberadaan mereka terancam menyusul Kementerian Kesehatan yang berencana menerapkan kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes).Bahwasannya sudah ditetapkan KTR, namun untuk menjaga keseimbangan, ujar Arif perlu adanya kebijakan untuk memberikan ruang bagi perokok.
"Banyak hotel yang harus mematuhi aturan untuk zero rokok, namun inilah yang kemudian membuat hotel ditinggalkan wisatawan. Jadi perlu pemikiran yang luas soal ini dan jangan hanya bicara tentang bagi hasil cukai rokok semata," tegasnya.
Demikian juga, anggota DPRD DIY Dwi Wahyu menyoroti bahwasannya Perda KTR harus dilihat dari perspektif yang lebih luas. "Jangan hanya dari kepentingan WHO. Bagaimana Yogya yang sempit ini mampu melakukan maping antara kebutuhan yang seimbang," katanya.
Soal kesehatan, lanjutnya mengapa hanya dipandang dari perspektif rokok. Bagaimana dengan ketersediaan air bersih di Kota Yogya serta tingkat polutif yang kian meningkat.
"Penduduk Kota Yogya hanya 400 ribu orang. Tetapi di siang hari, terdata 2 juta orang beraktifitas di Kota Yogya. Karena itu, dibutuhkan maping baru," tegasnya.
Sementara, Calon Wakil Walikota Yogya, Wawan Hermawan menyoroti bahwa bicara rokok, harusnya juga bicara soal budaya juga sisi ekonomi yang perlu diperhatikan. Kesejahteraan pekerja rokok juga menjadi hal yang tidak bisa ditinggalkan karena di Kota Jogja terdapat satu pabrik rokok yakni Tarumartani, yang memiliki sekitar 200 pekerja.
Menurutnya, dari kaca-mata kesehatan, jelas merokok dilarang, tetapi perlu dipahami bahwa satu komponen produk dari tembakau itu, berdampak luas. “Kita coba lihat dari sisi ekonomi, dengan mekanisme tertentu, dalam komponen HPP [Harga Pokok Penjualan] ada hak karyawan yang harus diperhitungkan, industri tetap berdaya dan fairness tercapai,” ungkapnya. (*)